Ghibah adalah menyebutkan aib seseorang (keaiban yang benar) yang mana orang tersebut tidak suka jika disebutkan. Jika yang disebutkan itu di sebut fitnah. (sila lihat definisi ini di kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyah Juz 31 hal 330). Di masa sekarang, istilah yang serupa dengan ghibah adalah gosip. Pada faktanya, semua gosip adalah ghibah kerana menceritakan keaiban seseorang (biasanya artis) yang mana artis tersebut tak menyukainya.
Secara umum, hukum ghibah adalah haram menurut kesepakatan para ulama. Sebahagian ulama, misalnya Imam al-Qurthubi rahimahullah, bahkan menyatakan bahwa ghibah merupakan salah satu dosa besar (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah Juz 31 hal 332). Salah satu dalil yang menunjukkan keharaman ghibah adalah surah al-Hujuraat [49] ayat 12.
“… Janganlah kalian mengghibah satu sama lain. Adakah di antara kalian yang senang memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kalian merasa jijik kepadanya…”
(QS. Al-Hujuraat [49]: 12)
Namun, menurut Imam Abu Zakariya Yahya ibn Syaraf an-Nawawi ad-Dimasyqi asy-Syafi’i rahimahullah dalam kitab beliau Riyadh as-Shalihin, ghibah diperbolehkan dalam 6 (enam) keadaan. Alasan beliau adalah sebagai berikut:
“Ketahuilah, sesungguhnya ghibah diperbolehkan dalam rangka mencapai tujuan yang dibenarkan oleh syara’, sedangkan tujuan tersebut tidak akan tercapai bila tanpa ghibah”
(Riyadh ash-Shalihin Bab Maa Yubahu Min al-Ghibah hal 526).
Enam keadaan tersebut (secara ringkas) adalah sebagai berikut:
- Dalam hal penganiayaan. Orang yang dianiaya boleh mengadukan orang yang menganiayanya kepada penguasa atau orang yang mempunyai kekuasaan atau kemampuan untuk menyedarkan orang yang melakukan tindakan aniaya tersebut. Misalnya orang yang dianiaya itu mengatakan, “Si fulan telah menganiaya saya dengan cara demikian”.
- Dalam hal minta tolong untuk melenyapkan kemungkaran dan untuk menegur orang yang berbuat kemaksiatan. Misalnya seseorang berkata kepada orang yang diharapkan mampu melenyapkan kemungkaran, “Si fulan berbuat begini” dan lain sebagainya dengan maksud untuk melenyapkan kemungkaran. Jika tidak bermaksud untuk melenyapkan kemungkaran maka hal itu diharamkan.
- Dalam hal minta nasihat. Misalnya seseorang berkata kepada orang lain yang dianggap bisa memberi nasihat, “Saya dizhalimi oleh seseorang, apa yang patut saya lakukan?”. Ini diperbolehkan jika memang hal tersebut diperlukan untuk mengatasi masalahnya.
- Dalam hal memberi peringatan atau nasihat kepada kaum muslimin agar tidak terjerumus dalam kemungkaran.
- Menegur secara terang-terangan kepada orang yang telah menampakkan kefasikan atau perbuatan bid’ahnya, misalnya teguran kepada peminum khamr, orang yang merampas harta orang lain, orang yang menerapkan kebatilan, dan lain sebagainya. Dalam hal ini, diperbolehkan menyebut keburukan seseorang yang ditampakkannya secara terang-terangan, namun tidak diperbolehkan menyebutkan aib orang tersebut yang tidak ditampakkannya.
- Dalam hal mengenali seseorang. Misalnya ada seseorang yang dikenal dengan gelar ‘si buta’, ‘si tuli’ atau ‘si bisu’, dan lain sebagainya, maka boleh untuk menyebut orang itu dengan gelar-gelar yang telah dikenal tersebut. Namun jika bertujuan untuk mengejek atau menghina maka diharamkan. Dan, kalau bisa, gelar-gelar buruk semacam itu sebaiknya dihindari.
Menurut Imam an-Nawawi rahimahullah, ghibah pada enam keadaan di atas telah disepakati kebolehannya oleh para ulama. Ada banyak dalil yang mendukung hal ini. Salah satunya adalah hadits dari Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim rahimahumallah sebagai berikut:
“Saya datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, ‘Sesungguhnya saya telah dilamar oleh Abu al-Jahm dan Mu’awiyah’. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Adapun Mu’awiyah maka ia adalah orang miskin yang tidak mempunyai harta kekayaan, dan adapun Abu al-Jahm maka ia tidak pernah menaruh tongkat dari bahunya (orang yang suka memukul)’.”
0 tautan:
Catat Ulasan