Kecantikan dan kemuliaan berpadu dalam dirinya. Cinta, kesetiaan dan ketaatannya pada pendamping hidupnya membawanya untuk memperoleh sebentuk doa. Doa yang berbuah keindahan hidup tiada tara, bersisian dengan hamba Rabb-nya yang paling mulia.
Hindun bintu Abi Umayyah bin Al-Mughirah bin ‘Abdillah bin ‘Umar bin Makhzum bin Yaqzhah bin Murrah Al-Qurasyiyyah Al-Makhzumiyyahradhiyallahu ‘anha. Dia lebih dikenal dengan kunyahnya, Ummu Salamah.
Dia seorang isteri yang penuh cinta bagi suaminya, Abu Salamah ‘Abdullah bin ‘Abdil Asad bin Hilal bin ‘Abdillah bin ‘Umar bin Makhzum bin Yaqzhah bin Murrah bin Ka’b Al-Makhzumi radhiyallahu ‘anhu. Dalam beratnya cobaan dan gangguan, mereka meninggalkan negeri Makkah menuju Habasyah untuk berhijrah, membawa keimanan. Di negeri inilah Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha melahirkan anak-anaknya, Salamah, ‘Umar, Durrah dan Zainab.
Tatkala terdengar kabar tentang Islamnya penduduk Makkah, mereka pun kembali bersama kaum muslimin yang lain. Namun, ternyata semua itu berita hampa semata, hingga mereka pun harus beranjak hijrah untuk kedua kalinya menuju Madinah. Di sanalah mereka membangun hidup bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Selang beberapa lama di Madinah, seruan perang Badr bergema. Abu Salamah radhiyallahu ‘anhu masuk dalam barisan para shahabat yang terjun dalam kancah pertempuran. Begitu pula ketika perang Uhud berkobar, Abu Salamah radhiyallahu ‘anhu ada di sana, hingga mendapatkan luka-luka.
Tak lama Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha berdampingan dengan kekasihnya, karena Abu Salamah harus kembali ke hadapan Rabb-nya akibat luka-luka yang dideritanya. Ummu Salamah melepas kepergian Abu Salamah pada bulan Jumadits Tsaniyah tahun keempat Hijriyah dengan pilu. Dia mengatakan, “Siapakah yang lebih baik bagiku daripada Abu Salamah?”
Berulang kali dia berucap demikian, hingga akhirnya diucapkannya doa yang pernah diajarkan oleh kekasihnya, Abu Salamah, jauh hari sebelum Abu Salamah tiada. Kala itu, Ummu Salamah berkata kepada suaminya, “Aku telah mendengar bahwa seorang wanita yang suaminya tiada, dan suaminya itu termasuk ahli surga, kemudian dia tidak menikah lagi sepeninggalnya, Allah mengumpulkan mereka berdua di surga. Mari kita saling berjanji agar engkau tidak menikah lagi sepeninggalku dan aku tidak akan menikah lagi sepeninggalmu.” Mendengar perkataan istrinya, Abu Salamah mengatakan, “Apakah engkau mau taat kepadaku?” Kata Ummu Salamah, “Ya.” Abu Salamah berkata lagi, “Kalau aku kelak tiada, menikahlah! Ya Allah, berikan pada Ummu Salamah sepeninggalku nanti seseorang yang lebih baik dariku, yang tak akan membuatnya berduka dan tak akan menyakitinya.”
Waktu terus berjalan. Ummu Salamah pun telah melalui masa ‘iddahnya sepeninggal Abu Salamah. Datang seorang yang paling mulia setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu untuk meminang Ummu Salamah. Namun Ummu Salamah menolaknya. Setelah itu, datang pula Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu, menawarkan pinangan pula ke hadapan Ummu Salamah. Kembali Ummu Salamah menyatakan penolakannya.
Ternyata Allah Subhanahu wa Ta’ala hendak menganugerahkan sesuatu yang lebih besar daripada itu semua. Datanglah RasulullahShallallahu ‘alaihi wasallam kepada Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, membuka pintu baginya untuk memasuki rumah tangga nubuwwah. Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha menjawab tawaran itu, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku adalah wanita yang sudah cukup berumur, dan aku memiliki anak-anak yatim, lagi pula aku wanita yang sangat pencemburu.” Dari balik tabir, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menanggapi, “Adapun masalah umur, sesungguhnya aku lebih tua darimu. Adapun anak-anak, maka Allah akan mencukupinya. Sedangkan kecemburuanmu, maka aku akan berdoa kepada Allah agar Allah menghilangkannya.”
Tak ada lagi yang memberatkan langkah Ummu Salamah untuk menyambut uluran tangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Bulan Syawwal tahun keempat setelah hijrah adalah saat-saat yang indah bagi Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, mengawali hidupnya di samping seorang yang paling mulia, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Berita tentang kecantikan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha sempat meletupkan kecemburuan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Ketika itu ‘Aisyahradhiyallahu ‘anha sangat bersedih. Dia menahan diri sampai memiliki kesempatan melihat Ummu Salamah. Tatkala datang kesempatan itu, ‘Aisyah melihat kecantikan Ummu Salamah berkali lipat daripada gambaran yang sampai padanya. Dia beritahukan hal itu kepada Hafshahradhiyallahu ‘anha. Hafshah pun menjawab, “Tidak, demi Allah. Itu tidak lain hanya karena kecemburuanmu saja. Dia tidaklah seperti yang kaukatakan, namun dia memang cantik.” ‘Aisyah pun mengisahkan, “Setelah itu, aku sempat melihatnya lagi dan dia memang seperti yang dikatakan oleh Hafshah.”
Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha memulai rangkaian kehidupannya di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Banyak rentetan peristiwa dilaluinya bersama beliau. Satu dialaminya dalam Perjanjian Hudaibiyah.
Kala itu, pada bulan Dzulqa’dah tahun keenam setelah hijrah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersama seribu empat ratus orang muslimin ingin menunaikan ‘umrah di Makkah sembari melihat kembali tanah air mereka yang sekian lama ditinggalkan. Ummu Salamahradhiyallahu ‘anha turut menyertai perjalanan beliau ini. Namun setiba beliau dan para shahabat di Dzul Hulaifah untuk berihram dan memberi tanda hewan sembelihan, kaum musyrikin Quraisy menghalangi kaum muslimin. Dari peristiwa ini tercetuslah perjanjian Hudaibiyah. Perjanjian itu di antaranya berisi larangan bagi kaum muslimin memasuki Makkah hingga tahun depan. Betapa kecewanya para shahabat saat itu, karena mereka urung memasuki Makkah.
Usai menyelesaikan penulisan perjanjian itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pun memerintahkan kepada para shahabat, “Bangkitlah, sembelihlah hewan kalian, kemudian bercukurlah!” Namun tak satu pun dari mereka yang bangkit. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengulangi perintahnya hingga ketiga kalinya, namun tetap tak ada satu pun yang beranjak. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menemui Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha dan menceritakan apa yang terjadi. Ummu Salamah pun memberikan gagasan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, apakah engkau ingin agar mereka melakukannya? Bangkitlah, jangan berbicara pada siapa pun hingga engkau menyembelih hewan dan memanggil seseorang untuk mencukur rambutmu.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri, kemudian segera melaksanakan usulan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha. Seketika itu juga, para shahabat yang melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallammenyembelih hewannya dan menyuruh seseorang untuk mencukur rambutnya serta merta bangkit untuk memotong hewan sembelihan mereka dan saling mencukur rambut, hingga seakan-akan mereka akan saling membunuh karena riuhnya.
Semenjak bersama Abu Salamah radhiallahu ‘anhu, Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha meraup banyak ilmu. Terlebih lagi setelah berada dalam naungan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, di bawah bimbingan nubuwwah, Ummu Salamah mendulang ilmu. Juga dari putri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, Fathimah radhiyallahu ‘anha. Ummu Salamah menyampaikan apa yang ada pada dirinya hingga bertaburanlah riwayat dari dirinya. Tercatat deretan panjang nama-nama ulama besar dari generasi pendahulu yang mengambil ilmu darinya. Dia termasuk fuqaha dari kalangan shahabiyah.
Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha telah melalui rentang panjang masa hidupnya dengan menebarkan banyak faidah. Masa-masa kekhalifahan pun dia saksikan hingga masa pemerintahan Yazid bin Mu’awiyah. Pada masa inilah terjadi pembunuhan cucu RasulullahShallallahu ‘alaihi wasallam, Al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhuma. Ummu Salamah sangat berduka mendengar berita itu. Dia benar-benar merasakan kepiluan. Tak lama setelah itu, Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha kembali menghadap Rabb-nya. Tergurat peristiwa itu pada tahun keenam puluh satu setelah hijrah.
Terkenang selalu kesetiaan yang pernah dia berikan bagi pendamping hidupnya. Terngiang selalu sebutan namanya dalam kitab-kitab besar para ulama. Ummu Salamah, semoga Allah meridhainya…
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
Sumber bacaan :
1 Al-Ishabah, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, hal. 150-152
2 Shahihus Sirah an-Nabawiyah, Ibrahim Al-‘Aly, hal. 323
3 Siyar A’lamin Nubala’, Al-Imam Adz-Dzahabi, hal. 202-210
4 Tahdzibul Kamal, Al-Imam Al-Mizzi, hal. 317-319
0 tautan:
Catat Ulasan